Categories
Bahasa Bali PAUD Tips

Pelestarian Bahasa Bali Melalui Pendidikan Anak Usia Dini

Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia yang digunakan oleh sebagian besar penduduk Bali (etnis Bali) sebagai bahasa percakapan sehari-hari (alat komunikasi), baik dalam rumah tangga, rapat-rapat adat, perkawinan, kematian, dan aktivitas-aktivitas kehidupan lainnya. Bahasa Bali digunakan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya Bali.

Belajar bahasa Bali tidak hanya di sekolah formal semata, namun belajar bahasa Bali sebaiknya berawal dari lingkungan keluarga yaitu ketika pertama kali seorang anak biasa berbicara, bahasa yang pertama yang diajarkan oleh orang tua adalah bahasa ibu yaitu bahasa Bali itu sendiri, sehingga anak tidak merasa asing dengan bahasanya sendiri. Cara yang mudah dan efektif memperkenalkan bahasa Bali terhadap anak-anak usia dini selain dengan berkomunikasi secara langsung yaitu orang tua dapat memperdengarkan lagu-lagu anak-anak  yang menggunakan bahasa Bali atau yang biasa disebut tembang Bali. Misalnya saja seperti lagu meong-meong dan juru pencar, dimana lirik lagunya seperti yang tertera di bawah ini.

“Meong-meong alih ja bikule, bikul gede-gede, buin mokoh-mokoh, kereng pesan ngerusuhin, juk meng. Juk kul”.

“Juru pencar (2x), jalan mai mencar ngejuk ebe. Ebe gede-gede (2x), di sawana ajaka liu”.

Ketika anak mendengarkan lagu-lagu yang menggunakan bahasa Bali secara berulang-ulang, otomatis mereka tidak asing lagi dengan bahasa Bali yang mereka dengarkan dalam lagu. Hal tersebut dapat menumbuhkan minat anak dalam menggunakan bahasa Bali itu sendiri. Selain itu dalam nyanyian bahasa Bali pun mengandung makna-makna yang jika ditelusuri lebih dalam memiliki makna yang sangat dalam dan lagu atau tembang Bali dapat membentuk karakter yang ada dalam diri anak. Selain melalui tembang, orang tua juga dapat memperkenalkan bahasa Bali melalui Satua Bali (dongeng). Mungkin sama dengan daerah lain di Indonesia, di Bali cukup banyak terdapat cerita rakyat yang diajarkan secara turun temurun tanpa diketahui siapa pengarangnya. Cerita-cerita tersebut di Bali disebut dengan istilah satua. Di Bali cukup banyak satua yang sampai saat ini masih digunakan sebagai salah satu materi pembelajaran bahasa daerah Bali salah satunya satua I Siap Selem. Berikut ini disajikan contoh kandungan nilai karakter dalam satua Bali I Siap Selem.

Satua Men Siap Selem ini mengisahkan dua tokoh yang berbeda karakter. Men Siap Selem dikisahkan sebagai sosok individu yang berkarakter baik, sedangkan Meng Kuuk sebagai tokoh jahat. Pada akhirnya, Meng Kuuk yang berniat jahat ingin memangsa semua anak Men Siap Selem mendapatkan malapetaka, giginya rontok akibat menyergap batu yang dikira anak-anak ayam. Jadi, satua ini bertema ajaran Karma Phala. Barang siapa berbuat baik akan memetik pahala yang baik, sementara yang menanam kejahatan akan memetik buah karma yang tidak baik. Guru dapat memakai satua ini untuk mendidikan anak-anak agar selalu berbuat kebajikan dan tidak punya keinginan untuk menyengsarakan orang lain.

Bahasa Bali sangat penting diperkenalkan sejak anak masih kecil, sehingga sejak dini mereka sudah memiliki rasa cinta dan bangga terhadap bahasa ibu yaitu bahasa Bali. Di Zaman sekarang ini masih banyak orang tua yang seakan-akan melupakan mendidik putra-putri mereka untuk menggunakan bahasa Bali. Jika bukan generasi muda yang melestarikan bahasa Bali, lalu siapa lagi?. Bahasa Bali merupakan bahasa Ibu yang wajib dilestarikan. (bu Suci)

Categories
Tips

Pola asuh anak di Jepang

  1. Orang tua jepang menerapkan disiplin kepada anak sejak dini

Di Indonesia, kita sering kali menganggap bahwa anak kecil tidak mengerti apa-apa sehingga tidak dimarahi apalagi hingga diberikan hukuman jika berbuat nakal atau melakukan kesalahan. Namun masyarakat Jepang justru memiliki pemikiran yang berbeda. Mereka beranggapan bahwa sikap disiplin dan pemahaman terhadap peraturan harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sehingga orang tua di Jepang tidak segan-segan untuk memarahi hingga menghukum anak jika anak nakal atau berbuat salah. Namun jika berada di tempat umum, para orang tua pantang untuk memarahi atau bersikap kasar terhadap anak.  Mereka baru akan ditegur atau diberikan hukuman ketika mereka di rumah. Kadang ada kalanya juga para orang tua memarahi hingga menghukum anak di depan umum jika anak sudah berbuat kelewatan atau berbahaya. Jadi anak-anak di Jepang biasanya sangat jarang berbuat atau bersikap seenaknya karena mereka sudah tahu konsekwensi apa yang akan mereka terima nantinya.

  1. Anak-anak Jepang diajarkan untuk berempati kepada orang lain

Sejak dini anak-anak Jepang sudah ditanamkan pemikiran bahwa semua perbuatan akan ada akibatnya sehingga mereka diajarkan untuk selalu menjaga sikap mereka. Orang tua Jepang selalu menasehati anaknya dengan “perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan”. Jadi mereka terbiasa untuk selalu mementingkan perasaan dan kepentingan orang lain terlebih dahulu sebelum kepentingan diri sendiri.

  1. Anak-anak Jepang diajarkan mengenai etika dan bersopan santun sejak dini

Anak-anak diajarkan untuk selalu mengucapkan kata tolong, maaf, terima kasih, permisi dan lain sebagainya sejak dini. Ketika berada di tempat umum seperti restoran atau rumah sakit, tidak ada anak-anak yang berlarian atau ribut. Ini dikarenakan mereka sudah diajarkan sejak dini bahwa perbuatan seperti itu (ribut atau berlarian) dapat menganggu kenyamanan orang lain dan bahkan bisa sampai membahayakan orang lain.

  1. Pengaruh Media siaran Jepang (elektronik maupun cetak) kepada anak

Hampir bisa dikatakan bahwa media di jepang baik TV maupun cetak jarang memberikan pengaruh yang buruk terhadap mental anak karena media Jepang jarang menayangkan berita yang berisi konten kekerasan maupun pornografi. Dan andaikata memang ada berita mengenai kekerasan, biasanya tidak pernah menampilkan foto/gambar dari korban. Kebanyakan isi dari acara TV di Jepang adalah mengenai acara talkshow, makan-makan (kuliner), jalan-jalan, dan ilmu pengetahuan.

  1. Anak-anak di Jepang terbiasa dengan ibunya atau selalu bersama ibunya sejak kecil

Ibu-ibu di Jepang sangat disiplin kepada anak-anak mereka. Anak-anak selalu berada di dalam pengawasan sang ibu. Biasanya Ibu di Jepang mengasuh dan mendidik anak mereka sendiri, tanpa bantuan dari pengasuh atau baby sitter, bukan karena biaya menggunakan pengasuh atau baby sitter mahal, tetapi lebih karena mereka telah memahami bahwa mengasuh dan mendidik anak memang merupakan tanggung jawab seorang ibu. Para ibu di Jepang biasanya memiliki latar belakang pendidikan yang bagus (hingga sarjana) meskipun tugas mereka “hanya” menjadi seorang ibu rumah tangga. Meskipun begitu mereka tidak pernah beranggapan bahwa pendidikan yang mereka tempuh dulu berakhir sia-sia. Mereka justru beranggapan bahwa lebih baik memperjuangkan pendidikan dan cita-cita anak dibandingkan karier mereka sendiri. Mungkin akan banyak orang yang bertanya-tanya “mengapa berhenti bekerja? Apa tidak sayang pendidikan tinggi tidak dipakai lagi?” Maka ibu-ibu Jepang akan menjawab dengan “apakah di rumah dan mendidik anak tidak memerlukan pendidikan yang tinggi?”. Oleh karena itu ibu-ibu di Jepang lebih senang melakukan pekerjaan rumah dan terus memotivasi anaknya untuk bekerja keras dalam meningkatkan prestasi akademis mereka. Ibu-ibu di Jepang lebih senang jika disebut sebagai wanita yang sukses mencetak anak-anak yang berhasil dibandingkan disebut sebagai wanita karier.

Di Jepang sendiri ada istilah kyouiku mama. Kyouiku berarti pendidikan, dan mama yang berarti ibu, jadi kyouiku mama merupakan istilah yang mengacu pada ibu-ibu Jepang yang terus-menerus mengembangkan bakat anak sehingga bisa menyekolahkan anak mereka di universitas terbaik. Para ibu pendidikan (kyouiku mama) secara langsung terlibat dalam kesuksesan atau kegagalan anak. Mereka dinilai berdasarkan kesuksesan atau kegagalan dalam mendidik anak. (bu Raeni)